|
Tunjuk tangan siapa yang tak pernah bosan dalam hidupnya? Hampir semua orang pernah mengalami kejenuhan. Baik kebosanan yang sementara maupun kebosanan yang setelah berhari-hari tak kunjung berlalu. Nah, yang ingin saya bicarakan adalah kebosanan yang "tak bisa diusir" ini.
Pada dasarnya -menurut saya- kebosanan hanya disebabkan oleh satu hal : "kehilangan cita". Orang kehilangan 'cita' bisa karena sudah mapan alias telah mendapatkan mimpinya dan tak punya impian lebih lagi atau bisa juga begitu putus asa hingga takut berharap dan berhenti bermimpi. Akibatnya, tak mampu lagi menemukan hal menarik dalam hidup ini, lalu kemudian kehilangan gairah dan akhirnya merasa datar. Bosan ah!
kata Pramoedya Ananta Toer (lagi-lagi Pram yah :-)), bahwa cita menimbulkan perjuangan. Dan perjuangan selalu berbarengan dengan penderitaan. Karena ada cita lah maka orang ingin berjuang. Dan penderitaan oleh cita adalah penderitaan yang membahagiakan. Jadi, jika anda sedang bosan, mungkin anda perlu bertanya: "Apakah saya sudah berhenti bermimpi? dan telah menjadi manusia yang kehilangan tujuan hidup?"
Tentang tujuan hidup, semua orang tahu bahwa semua manusia inginkan kebahagiaan. Entah itu kebahagiaan duniawi, seperti karir, kekayaan, kekuasaan, dsb atau kebahagiaan surgawi, seperti rasa aman, damai, keinginan memberi, mencintai, dsb. Secara naluriah, setiap orang merasa 'sayang' menyia-nyiakan hidup yang sementara ini untuk tidak berjuang mendapatkan apapun dari kehidupan ini. seperti kata Goenawan Moehammad dalam salah satu catatan pinggirnya berjudul kereta, bahwa yang "sementara" itu justru lebih menarik dari yang abadi. Yah, seperti hidup kita di bumi ini yang -hampir setiap orang rasa -lebih menarik daripada kehidupan sesudah kematian. Ibarat perjalanan dalam kereta, pemandangan diluar (dari jendela) lebih mengesankan daripada kota tujuan kereta itu sendiri. Orang-orang dalam kereta lebih menikmati perjalanannya (yang justru bukan dalam kereta tapi pemandangan diluar yang hanya sekelebat-lebat saja), dan ketika akhirnya sampai di kota tujuan justru merasainya sebagai "momen perpisahan".
Dalam "perjalanan" inilah kita seringkali dilanda kebosanan. Dan jika ditelusuri lebih jauh, kebosanan itu sebenarnya - menurut saya-timbul karena "ketakutan-ketakutan" dalam diri kita. Setiap orang memiliki ketakutan-ketakutan nya sendiri. Orang kaya takut hilang hartanya, anak kecil takut dalam kegelapan, pengusaha takut bangkrut, gadis yang beranjak tua takut tidak mendapat jodoh selamanya, dsb. Diakui atau tidak, ada begitu banyak "ketakutan" dalam hidup kita. Dan orang yang kalah dengan ketakutannya inilah yang akan menjadi orang-orang yang kehilangan harapan akan adanya perubahan, lalu kemudian mengalami kebosanan dalam hidupnya.
Mochtar Lubis dalam romannya Jalan Tak ada Ujung, mengatakan setiap orang harus berani hidup dengan ketakutan-ketakutan nya. Berdamai dengan ketakutan-ketakutan kita,saya yakin merupakan sebuah upaya untuk mengatasi kebosanan. Sebab perdamaian itu membuat kita sanggup menerima apa yang ada di hadapan kita dan akhirnya membuat kita sanggup menikmati hidup.Jika kita menikmati hidup ini, tentu kita tidak layak lagi menyebut diri mengalami kebosanan.
Harapan, memegang peranan besar terhadap kebosanan kita. Orang-orang yang kehilangan kemampuan berharap lah yang hampir pasti sering mengalami kebosanan. Orang yang masih sanggup berharap pada perubahan, hampir dipastikan selalu memiliki semangat perjuangan, dan mampu menikmati penderitaan yang membahagiakan seperti yang dikatakan Pram. Namun, untuk berharap seringkali pula kita harus kecewa terhadap kenyataan. Jika sudah melihat kenyataan, semua harapan bisa sirna dalam sekejap, terbanting, terpental-pental dan kehilangan daya tawarnya dalam sanubari kita. Jika, sudah begini, seringkali agama dijadikan candu. Yah, mau tak mau, hidup ini terlalu berat untuk dipikul sendirian. Terkadang memang perlu melupakan kenyataan dan berharap pada Tuhan. Kepercayaan pada Sang Penolong seringkali mampu menumbuhkan semangat hidup kita kembali. Dan disadari atau tidak, semangat inilah yang menjadi modal utama kita. Jika sudah berhadapan dengan kenyataan pahit seperti itu, Lupakan kenyataan, dan berharaplah pada Tuhan!. Kedengarannya, tidak realistis memang. Tapi, cobalah jawab pertanyaan saya ini : "Jika semangat saja sudah sirna dari sanubari anda, masih realistiskah mengaharapkan perubahan?"
| |